APA AKU TIDAK BOLEH BICARA



Oleh : Annisa Budi Akhlani
Mahasiswa STAI HAS PAI semester 7

Aku seorang peserta didik yang hanya ingin bicara lewat tulisanku. Aku juga hanya seorang peserta didik yang selama ini menindas diriku sendiri. Kadang-kadang aku ingin bicara, tapi aku selalu takut. Takut apa? Ya, tentu saja takut dimarahi guruku, takut guruku membenciku, dan bahkan terkadang untuk mengatakan kebenaran kepada guruku, aku tidak bisa. Apa yang terjadi sebenarnya pada diriku?

Berangkat dari kegelisahan dan pertanyaan itu, tulisan ini dibuat. Sudah kurang lebih 15 Tahun aku menjadi peserta didik, tapi aku selalu merasa budaya di sekolah tempatku belajar membuatku semakin membungkam suaraku. Padahal ada banyak yang ingin aku sampaikan, tapi lagi-lagi aku memilih diam. Sesekali pernah aku coba untuk menyampaikan beberapa ide dan gagasan pada guruku, tapi ia mematahkan isi pembicaraanku, saat itu aku merasa tak punya arti kalau pun aku bicara.

Sejak aku duduk dibangku perguruan tinggi, atau kata orang aku adalah “Mahasiswa”. Aku tertarik untuk membaca buku tokoh-tokoh pendidikan dan pemikirannya, salah satunya tokoh pendidikan yang berasal dari Brazil yaitu Paulo Freire. Pemikiran pendidikannya membuatku begitu menjiwai dan membenarkan setiap isi pemikirannya tentang realitas pendidikan.

Salah satu bukunya yang aku baca berjudul “Politik Pendidikan”. Di dalam buku itu ia menyusun daftar antagonisme pendidikan yang dinamakan pendidikan “gaya bank”, isinya sebagai berikut :
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Membaca pemikiran Paulo Freire tentang realitas pendidikan seolah mampu membuatku berkomunikasi dengan bukunya. Begitulah yang aku rasa, aku mengalami semua hal yang dibicarakan dalam realitas pendidikan yang Paulo Freire tulis. Aku adalah korbannya. Tidak, tidak. Mungkin bukan hanya aku, tapi ada banyak yang juga merasakan hal sepertiku. Padahal, dalam buku pendidikan yang berjudul “Pendidikan yang Memiskinkan” karya Darmaningtyas disebutkan bahwa pendidikan bukan saja dapat melawan kebodohan, tapi pendidikan juga dapat melawan kemiskinan, keterbelakangan, dan juga keterbelengguan. Oleh karena hal itu, budaya “Diam” yang dibentuk dalam kelas atau sekolah tentu saja sama sekali tidak relevan dengan hakikat pendidikan yang sesungguhnya.

Peran pendidik atau guru bukan hanya menuntaskan materi, bukan hanya memerintah peserta didik untuk menghafal, dan ketika peserta didik sudah mampu menghafal, kemudian guru berpikir telah selesai kewajibannya. Lebih besar dari itu, guru juga harus mampu menciptakan budaya “Bicara” pada peserta didiknya, guru juga harus mampu membuat peserta didik berpikir kritis dalam kenyataan yang dihadapinya, dan guru juga harus mampu membuat peserta didiknya melakukan solusi-solusi atas persoalan yang terjadi dalam hidupnya.
Perihal yang terjadi pada diriku saat ini adalah dibungkam suaraku, dan aku tidak dapat bicara walau sepatah kata. Aku dan keinginanku yang sebenarnya adalah mampu berbicara bersama guruku, aku dan keinginanku yang sebenarnya adalah berdiskusi dengan guruku tentang bagaimana cara mengembangkan potensi yang ada pada diriku, aku dan keinginanku yang sebenarnya adalah merancang ide dan gagasan tentang pendidikan bersama guruku, aku dan keinginanku yang sebenarnya adalah bisa bercerita seperti guruku di depan orang lain, aku dan keinginanku yang sebenarnya adalah mampu mengajar dan belajar bersama guruku. Sekali lagi, apa aku tidak boleh bicara?

11 Desember 2019
Kominfo BEM STAI HAS




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hymne STAI HAS

Berkah Sowan ke Kyai

STAIHAS Selenggarakan Workshop LITERASI bersama AMPLI