JANGAN CIDERAI DEMOKRASI DENGAN AKSI PEOPLE POWER
Oleh : Shandi Ismail
(Mahasiswa STAI HAS Semester 2 HES)
Menjelang penentuan hasil pemilu pada 22 Mei 2019 nanti menuai banyak sekali kontroversi. Cuitan para nitizen Indonesia bertebaran disana sini, Seakan penentuan Demokrasi menimbulkan panas yang tak henti di bumi pertiwi.
Sekarang lagi gurih kita lihat perihal "people power" yang akan di luncurkan oleh mereka-mereka yang katanya berani jihad sampai mati. Karena pemahaman yang menjanjikan mati syahid oleh para tokoh-tokoh islami dan elit politik negeri.
Saya geleng-geleng pala melihat ini semua. Melihat sikap dan seruan politisi elit bahkan sampai tokoh agama yang menyeru melakukan aksi ini dengan dalih "kedaulatan rakyat dan panggilan jihad.
Padahal kita tahu, kedaulatan rakyat ini sudah berlangsung pada 17 April 2019 lalu yaitu seluruh rakyat Indonesia memiliki hak suara penuh dalam pesta demokrasi untuk menentukan pemimpin bangsa dan masa depan Indonesia 5 tahun kedepan. Sejatinya demokrasi yaitu "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" Bukan "dari rakyat, oleh rakyat, untuk elit".
Jikalau masih merongrong terus tentang kecurangan dalam penginputan data. Mengapa tidak segera lapor kepada bawaslu atau secara jalur konstitusi? Kata mereka dengan lantang nya BPN punya data yang valid? Mengapa bukannya melapor tapi malah menggiring opini rakyat dan meneriakan perihal kecurangan dengan dasar klaim kemenangan secara sepihak?
Rasanya gatal sekali sekian lama bungkam dengan persoalan Demokrasi selama ini dan sebagai pribadi yang tidak betah untuk bersuara akhirnya pecah karena sepekan ini semrawut melihat beranda sosial media penuh dengan people power yang di kemas dengan seruan jihad dan dalih kedaulatan rakyat.
Aneh, seharusnya elit politik dan tokoh agama mengambil tindakan yang lebih bijak dalam menghadapi atsmorfer politik ini dan harus menjadi kontrol emosi masyarakat. Kenapa ini malah yang menjadi provokator masa untuk melakukan aksi demi kepentingan pribadi.?
Banyak sekali korban adu domba dari mereka semua, berbagai lapisan masyarakat ikut mengaung-ngaung tentang aksi ini. Kalangan tua, muda, remaja berapi api ingin ikut tempur ke tempat yang mereka bilang "medan jihad" bahkan mereka yang di kategorikan sebagai ABG labil yang tidak punya hak suara pada pemilu kemarin pun ingin ikut sebab sangat pesat nya pertumbuhan berita makar yang ada di Indonesia.
Kita bisa lihat bahwa segala sesuatu jikalau di goreng dengan isu agama akan renyah untuk di santap. Sungguh ironi, padahal esensi jihad sudah ternodai. Ada hal yang paling penting dan sering kita lupakan tentang jihad yaitu jihad melawan hawa nafsu sendiri. Nafsu dalam menginginkan jabatan misalnya.
Melihat kejadian ini teringat akan kisah Gus Dur ketika hendak di lengserkan oleh preman politik yang kata Gus Dur akan menjadi gelandangan politik di negeri ini seumur hidup. Ratusan ribu santri dari Jawa Timur sudah mempersiapkan diri mereka untuk berjihad jiwa dan raga demi membela guru bangsa Gus Dur. Meskipun Gus Dur merasa tidak bersalah dan ada pada pihak kebenaran, Gus Dur malah menahan mereka untuk berangkat ke Jakarta karena tidak mau mempertahankan jabatan nya semata sehingga menimbulkan pertumpahan darah dan korban. Beliau tidak mau mengotori konstitusi di negeri ini pada saat itu.
Banyak hal yang harus kita pelajari dari guru bangsa Gus Dur sejatinya tidak ada jabatan yang pantas di bela mati-matian dan yang paling penting dari politik adalah kemanusiaan.
Kita hanya perlu mempersiapkan kelapangan hati serta sikap tenggang rasa untuk menerima kenyataan keputusan dari KPU dan legowo ikhlas menerima keputusan yang ada. Menang ataupun kalah adalah suatu keniscayaan dalam kontestasi. Yang terpenting persatuan dan persaudaraan sebangsa tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Mari tolak segala hal yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan untuk NKRI tercinta sebagai representasi bahwa kita adalah masyarakat yang cerdas dan berjiwa nasionalis.
Semoga Indonesia ku lekas pulih dari penyakit dengki para elit perusak konstitusi.
Cikarang 21 Mei 2019
Mentri Perekonomian BEM STAI HAS
Komentar